Mengenal Latar Sejarah, Nama, Dan Bahasa Kolaka Utara​

Latar Sejarah Kabupaten Kolaka Utara

Penduduk wilayah Kolaka pada tahap awal dikenal dengan nama "Tu Unenapo," yang merupakan penduduk mayoritas. Selain suku dengan populasi yang relatif kecil seperti: To Laiwo dan To Aere yang hidup secara berkelompok berdasarkan etnisnya di wilayah kecamatan Pakue, Lasusua, Mowewe, Uluiwoi, Ladongi, dan Lambandia.

 

Suku bangsa tersebut tersebar di wilayah Kolaka melalui gerak persebaran suku-suku yang ada di Sulawesi bagian tengah dan timur yang berpusat di danau Matana, Mahalona, dan Towuti. Setelah beberapa lama bermukim di wilayah tersebut, mereka berpencar ke wilayah Luwu, Mekongga, Konawe, Poso, dan Bungku.

 

Nenek moyang orang Mekongga kemudian membentuk perkampungan yang disebut Napoaha (Napo = Pusat Pemukiman; aha = Luas/Besar), di antara pemukiman mereka terdapat Lalowa dan Andolaki. To Moronene dan To Laiwoi merupakan penduduk yang mula-mula mendiami daerah Unenapo (Kolaka), yang kelak menjadi wilayah Kerajaan Mekongga.

 

Impian masyarakat yang berjuang menghadirkan hadirnya sebuah kabupaten baru telah terwujud. Daerah baru ini membawa harapan dan cita-cita baru bagi banyak kalangan. Warga Kolaka Utara yang berkarir di luar daerah pun satu persatu terpanggil kembali ke daerahnya untuk membangun dan mengembangkannya.

 

Mereka-mereka itu merupakan sumber daya manusia berkualitas dengan pengetahuan dan keterampilan yang sudah teruji. Berasal dari beragam provinsi yang sarat pengalaman di daerah kerja yang lama. Mereka datang dari Kolaka, Kendari, Wajo, Luwu, Luwu Utara, Makassar, dan tempat lain.

 

Daya tarik ekonomi dan potensi sumber daya alam Kabupaten baru ini tentu menjadi pemikat. Para pelaku ekonomi beramai-ramai datang berkunjung dan melihat peluang usaha yang dapat dirintis, guna mengambil bagian dalam upaya mempercepat pertumbuhan dan pembangunan di Kabupaten Kolaka Utara.

 

Generasi baru Kolaka Utara juga memilih "pulang kampung" untuk turut mengabdi membangun kampung halamannya. Terutama mereka yang sudah menyelesaikan pendidikan tinggi di Kolaka, Kendari, Makassar, Palu, dan kota-kota lain di tanah air. Sarjana dengan beragam disiplin ilmu menjadi salah satu kekuatan daerah ini untuk berkompetisi di masa yang akan datang.

 

Generasi baru ini segera mengisi posisi dalam pemerintahan, profesi, dan usaha lainnya. Bertekad menjadikan Kabupaten Kolaka Utara mampu berpacu mengsejajarkan diri dengan kabupaten yang eksis lebih dulu.

 

Untuk memperlancar proses pemerintahan di kabupaten yang baru berdiri ini, Gubernur Sultra Ali Mazi, SH melantik pelaksana tugas Bupati Kolaka Utara pertama dr. H Ansar Sangka Mm pada 21 Januari 2004 di Kolaka. Momen ini menjadi tonggak sejarah baru bagi masyarakat. Sebab dengan begitu, daerah ini akan mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusianya secara mandiri guna kesejahteraan masyarakat.

Tugas Ansar Sangka cukup berat, mempersiapkan struktur dan mekanisme pemerintahan daerah, menyelenggarakan pemerintahan daerah, juga mempersiapkan dan memfasilitasi pemilihan bupati definitif. Karena periode ini merupakan masa transisi pemerintahan. Sebuah fase antara masa pejabat sementara menuju bupati definitif.

Sejarah Singkat Pemekaran Kabupaten Kolaka Utara

Masyarakat yang bermukim diwilayah kabupaten Kolaka bagian utara sejak tahun 1960-an sebenarnya telah berupaya menghadirkan kabupaten baru sejalan perubahan sistem politik dengan pembentukan kabupaten dan provinsi. Kebijakan pemerintah pusat menetapkan kalau wilayah bagian utara kabupaten Kolaka yang juga dikenal dengan nama “Patowanua” (artinya 4 wilayah yang dipersatukan, yakni; wonua Lewawo, wonua Lato, wonua Watunohu, serta wonua Kodeoha)” masuk dalam wilayah Kabupaten Kolaka.

 

Kabupaten baru yang dicita-citakan itu akhirnya terwujud pada 18 desember 2003 dengan lahirnya Undang-Undang No 29 tahun 2003 yang ditanda tangani oleh presiden Republik Indonesia kala itu, Megawati Soekarno Putri. Semua elemen masyarakat menyambut gembira pembentukan kabupaten baru itu. Sesaat setelah Undang-Undang 29/23 yang mengatur tentang pembentukan Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi, dan Kabupaten Kolaka Utara di provinsi Sulawesi Tenggara ditanda tangani presiden, masyarakat Kolaka Utara menyambutnya dengan haru penuh kegembiraan. Sambutan itu juga dating dari warga Kolaka Utara yang berdomisili diluar daerah.

 

Di tahun 1906, orang belanda tiba didaerah ini. Saat itu seorang pimpinan (anakia) wafat. Si opsir belanda bertanya kepada warga perihal suku yang menghuni daerah itu. Seorang dari mereka menjawb; “dahomiano Ntawe” yang berarti ada anakia (bangsawan) yang wafat. Karenah salah persepsi, orang belanda itu kemudian mencatat bahwa suku yang menghuni daerah itu adalah Lantawe atau orang landawe. Kata ini dalam aksen mekongga berubah menjadi landawe dan dikenal sampai hari ini. To Landawe artinya orang Landawe dari kata “tawe” yang berarti jasad orang yang meninggal (bahasa Tolaki).

 

Perkembangan selanjutnya, sebuah peristiwa menimpa wilayah ini, yakni gangguan dari seekor burung elang raksasa yang dalam bahasa mekongga disebut Kongga Owose/ Konggaaha. Ditengah penderitaan warga akibat gangguan burung elang raksasa itu, terjadi peristiwa ajaib. Tiba-tiba datang seorang lelaki yang tidak diketahui asal-usulnya. Lelaki itu menyebut dirinya Larumbalangi, orang banyak menyebutnya To Manuru atau Sangia Ndudu dalam bahasa mekongga juga berarti titisan dewa.

 

Orang-orang lalu datang menyembah dan menghormati lelaki ini karena dipercaya memiliki kesaktian turunan dewa (Sangia). Kedatanganya di Unenapo dianggap suatu hal istimewa karenah telah diutus oleh Sangia Ombu Samena untuk melepaskan orang banyak dari malapetaka karena keganasan burung elang raksasa (Kongga Owose). Orang-orang kemudian menghadap dan menyampaikan keluh kesah tentang penderitaan mereka selama dalam gangguna Konggaaha.

 

Larumbalangi menerima permohonan para warga dan berjanji melepaskan rakyat dari penderitaan dan kesengsaraan Kongaaha. Larumbalangi pun meminta para warga untuk bersatu menghadapi upaya pemusnahan Konggaaha. Mereka disuruhnya mengambil bulu, sejenis bambu yang telah diruncingkan, dalam bahasa mekongga disebut sungga. Selanjutnya Sungga ini dipancang diatas tanah di tempat yang diperkirakan mudah dilihat oleh konggaaha dari udara.

 

Ditempat pancangan Sungga, berdiri seorang Tamalaki yang bernama Tasahe sebagai umpan untuk menarik konggaaha. Menurut tradisi lisan, Konggaaha ini tinggal dipuncak gunung hutan rimba pada hulu sungai perbatasan Wundulako dengan ladongi, tak jauh dari lokasi Osambegolua dan Gua Watuwulaa. Sebab orang-orang selalu melihat Kongaaha datang dari arah itu. Tak lama setelah persiapan membunuh Konggaaha ini rampung, dari kejauhan terdengar suara menderu . Bunyi kepak sayap Konggaaha.

 

Mendengar hal itu, setiap laki-laki diminta bersiap menghadapi segala kemungkinan, masing-masing dengan senjata seadanya, seperti tombak dan Taawu (parang). Tak lama, Konggaaha pun melintas. Cahaya matahari terlindung olehnya dan membentuk bayangan besar di bawahnya. Larumbalangi berdiri dipuncak bukit Osumbegalua, siap memberi perintah kepada seluruh laki-laki untuk menyerbu Kongaaha.

 

Seorang tamalaki bernama Tasahea diperintahkan masuk ditengah-tengah diantara bambu runcing sebagai umpan Konggaaha. Larumbalangi mengorganisir warga untuk siap memberi perintah kepada segenap masyarakat, laki-laki dan perempuan. Anak-anak bersembunyi di Gua Watuwulaa.

 

Ketika Kongaaha melihat banyak orang dibawahnya, ia pun berputar dan melayang-layang, seperti mengira-ngrira mangsa mana yang akan disambarnya. Begitu melihat Tasaleha, Kongaaha dengan cepat turun menyambar. Bersamaan dengan itu Osungga yang dipancang di atas tanah berhasil menikam tubuhnya. Karenah merasa sakit, Kongaaha pun terbang melayang berkeliling di udara. Darah elang raksasa itu bercucuran. Menurut cerita, dimana darah burung Kongaaha itu bercucuran maka tanahnya menjadi merah seperti dipomalaa. Ketika tenaga Kongaaha makin berkurang, ia pun jatuh dan mati dihilir sungai dekat usambegalua yang kemudian dinamai Lamekongga.

 

Larungpalangi yang berhasil membunuh Kongaaha, kelak menjadi raja pertama di Kerajaan Mekongga pada abad XIII. Masyarakat mekongga menganggap bahwa Larungpa langi sebagai juru selamat yang telah menyelamatkan penduduk yang terancam maut oleh burung Konggaaha. Olehnya, setelah negeri ini mana dan Larumpalangi menjadi raja (anakia), mereka menamai kerajaanya Mekongga. Wilyah kerajaan ini, sekarang dikenal sebagai Kabupaten Kolaka dan Kolaka Utara.

 

Tradisi mekongga lantas mengunkapkan kalau Larumpalangi kemudian menghilang, tidak diketahui kepergianya. Namun ia meninggalkan keris (Otobo), Sembilan keeping emas murni, motia naga (mustika naga) dan bibit padi untuk dikembang biakkan oleh masyarakat mekongga.

 

Sumber lain dalam sejarah Sulawesi Tenggara sebagai mana diungkapkan dalam lontara, pada masa Sawerigading terdapat empat kerajaan, yaitu: Kerajaan Luwu, Kerajaan Cina, Kerajaan Tompotikka, dan Kerajaan Wadeng. Kerajaan Luwu berpusat disekitar danau matana, Kerajaan Cina di Bone/ Wajo, dan Kerajaan Tompotikka terdapat di Sulawesi Tenggara dalam hal ini Kerajaan Mekongga dan Kerajaan Wadeng adalah kerajaan Konawe.

 

Berdasar Ungkapa bahasa Bugis, Tompotikka artinya wilayah Tomporeng Kesso atau wilayah tempat terbitnya matahari di sebelah timur. Wilayah Sulawesi Tenggara bagi orang bugis dikenal dengan nama Tana Lau, negeri di sebelah timur. Pelaut Bugis menyebut Mekongga dengan nama Mengkoka.

Pemekaran dan Pesta Demokrasi Pemilihan Bupati Pertama

Ketika masa tugas Ansar Sangka Usai, iapun digantti oleh Drs H Kamaruddin MBA sebagai pelaksana tugas Bupati Kolaka Utara yang kedua. Dilantik pada 24 januari 2005 oleh gubernur SULTRA Ali Mazi. Setahun menjalankan tugasnya, H. Kamaruddin diganti oleh Drs Djaliman Mady MM, selaku pelaksana tugas bupati kolaka utara yang ke tiga.

 

Dalam masa ini, aktifitas Djaliman Mady cukup sibuk. Karenah mesti mereangkap sebagai pelaksana tugas sekeretaris provinsi Sulawesi Tenggara serta asisten II SekProv SULTRA. Namun kesibukan tugasnya sebagai pejabat provinsi tak mengurangi aktifitasnya melaksanakan tugas di tingkat kabupaten.

 

Setelah Djaliman Mady bertugas, gubernur SULTRA Ali Mazi melantik Drs. Andi Kaharuddin menjadi pelaksana tugas Bupati Kolaka Utara yang keempat. Dalam masa tugasnya itu, birokrat ini harus mempersiapkan dan memfasilitasi proses terpilihnya bupati defenitif lewat pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) secar langsung untuk pertama kali.

 

Setelah segala persiapan dianggap matang, pesta politik dikabupaten Kolaka Utara pun digelar pada 29 september 2005 dan diikuti oleh 6 pasangan calon bupati dan wakil bupati. Keenam pasangan calon tersebut, yakni; Rusda Mahmud dan Hj. ST Suhariah Muin Sag yang diusung oleh PNBK, dr. H. Ansar Sangka MM dan H. Abbas SE yang diusung oleh PKS dan partai Pelopor. Drs Bustam AS dan Sapruddin SE yang diusung PDK, PDIP, PIB partai merdeka, PSI, dan PNUI. Ir. Muh Hakku Wahab dan Jr Zakaria MSi yang diusung Oleh PAN. drg Sutan H, MM dan Drs. Syamsyul Ridjal yang diusung oleh partai Golkar serta Drs H Syarifuddin Rantegau MSi dan DR Ilham Labbase SE Msi yang diusung oleh PBR, PKPI, PKB, PKPB, PNI Marhaenisme , PPDI, PSD, PPD dan partai Patriot Pancasila.

 

Hasil Perolehan suara dalam Pilkada ini akhirnya menempatka Rusda-Suhariah diurutan pertama denga 12.774 suara atau meraih 23, 98% Suara. Urutan 2 diraih Ansar-Abbas dengan 11.070 suara atau 20, 78%. Diurutan ketiga Bustam-Sparuddin denga 9.926 suara atau 18,62 % menempati urutan keempat Hakku-Zakaria dengan 8.911 suara atau 16,73 %. Sutan-Syamsyul dengan 5.477 suara atau 10,28 % pada urutan 5. Serta syarifuddin-Ilham dengan 5.115 suara atau 9,60 5 diurutan 6.

 

Karena 6 pasangan ini tidak ada yang meraih suara mencapai 25%, maka sesuai keputusan KPU Kabupaten Kolaka utara pada tanggal 15 April 2007 dilaksanakan Pilkada putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang berada pada urutan pertam dan kedua perolehan suara tertinggi, yakni; Rusda-Suhariah, dan Ansar-Abbas.

 

Proses pemilihan dilakukan dengan suhu politik yang hangat dan meningkat. Sebab masyarakat sepertinya paham kalau Pilkada merupakan pertarungan meraih simpati dan dukungan dari rakyat pemilih untuk menentukan kepala daerah dan wakil kepala dearah mereka untuk pertama kali yang akan bertugas selama 5 tahun.

 

Dalam pilkada putaran kedua, pasangan calon Rusda-Suharia meraih suara terbanyak dengan 38.304 suara atau 59,53 % disusul pasangan Ansar-Abbas dengan 26.242 suara atau 40,47 %. Dengan hasil itu, pesta demokrasi rakyat Kolaka Utara ini akhirnya mengukuhkan Rusda Mahmud dan Hj. ST Suhariah Muin SAg yang diusun oleh PNBK sebagai bupati dan wakil Bupati Pertama yang memetintah secara defenitif.

 

Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bertugas pada periode 2007/2012 inipun dilantik pada 19 juni 2007 oleh pelaksana tugas gubernur sultra Drs H. yusran Silondae MSi di ibu kota Kabupaten Kolaka Utara Lasusua.

Latar Belakang Sejarah Nama dan Bahasa Daerah

1. KECAMATAN LASUSUA
Nama Lasusua memiliki arti nama “Sungai Yang Menyayi” Penamaan Lasusua disebabkan karenah diwilayah ini terdapat beberapa sungai yang senang tiasa mengalir dan tidak pernah kering dan suara gemuruh aliran airnya senang tiasa terdengar bagaikan orang yang sedang menyanyi. Lasusua diambil dari bahasa Tolaki Mekongga yang berarti La = sungai dan Mosua = Menyanyi Nyayi. Bahasa Daerah yakni Tolaki Mekongga

 

2. KECAMATAN WAWO
Nama Wawo memiliki arti nama “ Diatas” nama Wawo diangkat sebagai nama kecamatan diambil dari Desa Wawo yang merupakan Desa Tertua dan sekaligus sebagai ibu kota Kecamatan. Bahasa Daerah yakni Mekongga/ Tolaki

 

3. KECAMATAN RANTEANGIN
Nama Rante angin memiliki arti nama “Tanah Datar Yang Sejuk” nama ranteangin berasal dari dua suku kata yaitu Rante = Tanah datar dan dan angin = sejuk sehingga nama ranteangin diartikan sebagai tanah datar yang sejuk . Sedangkan penamaan sebagai Kecamatan disebabkan nama kel. Ranteangin merupakan Desa tertua dan letaknya berada diantara beberapa Desa dan sekaligus sebagai Ibukota Kecamatan. Bahasa Daerah yakni Bahasa Toraja

 

4. KECAMATAN LAMBAI
Nama Lambai memiliki arti nama “Kayu Pahit” Penamaan nama Kecamatan Lambai disebabkan karena Desa Lambai merupakan induk dari Desa yang ada dalam wilayah Kecamatan Lambai sekaligus sebagai ibu kota Kecamatan . Bahasa Daerah yakni bahasa Tolaki Mekongga

 

5. KECAMATAN KATOI
Nama Katoi memiliki arti nama ”Tempat Persinggahan” Nama Katoi diambil dari bahasa Luwu “Ka’toi: yang berarti Cape’, Katoi sebagai tempat peristirahan bagi masyarakat yang melakukan perjalanan lintas laut dan darat antara Propinsi Sultra dengan Sul-Sel. Sedangkan Penamaan Kecamatan Katoi karena sebagai Induk Desa dari 5 Desa yang dimekarkan dan Katoi merupakan daerah yang strategis, sekaligus sebagai Ibukota Kecamatan. Bahasa Daerah Yakni Bahasa Luwu

 

6. KECAMATAN KODEOHA
Nama Kodeoha memiliki arti nama “Alang-Alang Besar” Kata Kodeoha berasal dari dua kata yakni Kode yang berarti Alang-alang dan Oha berarti besar. Bahasa Daerah yakni To’kodeoha/ Tolaki

 

7. KECAMATAN TIWU
Nama Tiwu memiliki arti nama ”Air Penuh Berkah” Nama Tiwu diambil dari sebuah Mata Air yang berada dihulu sungai Tiwu yang bentuknya menyerupai air terjun. Sungai tersebut diapit oleh dua gunung sehingga tidak ada jalan yang dilalui selain sungai tersebut dan setiap orang yang lewat pasti basah kuyup “Motiwu” sehingga dinamai Tiwu, sedangkan penamaan Tiwu sebagai Nama Kecamatan karena Tiwu merupakan nama Desa Tertua yang ada diwilayahnya, sekaligus sebagai Ibukota Kecamatan. Bahasa Daerah yakni Tolaki

 

8. KECAMATAN NGAPA
Nama Ngapa memiliki arti nama“Pelabuhan” Ngapa berasal dari bahasa Tolaki yang berarti Pelabuhan karena terdapat sungai Lapai yang dijadikan tempat berlabuh kapal dengan dasar tersebut maka nama Ngapa yang dijadikan sebagai Nama Kecamatan yang beribukota di Kelurahan. Lapai. Bahasa Daerah Yakni bahasa Tolaki

 

9. KECAMATAN WATUNOUHU
Nama Watunouhu memiliki arti nama nama “Batu Lesung” Watunohu merupakan tempat menumbuk padi setiap habis panen diadakanlah pesta panen oleh suku Tolaki pada saat itu. Nama Watunohu dinobatkan sebagai nama Kecamatan karena Watunohu induk dari pada semua Desa yang ada di Kecamatan Watunohu, sekaligus sebagai Ibukota Kecamatan. Bahasa Daerah yakni bahasa Tolaki

 

10. KECAMATAN PAKUE
Nama Pakue memiliki arti nama “sayur Pakis” Penamaan Pakue diambil dari sebuah kejadian sekitar tahun 1820, yang pada waktu itu ada salah seorang Saudagar dari Tanah Selatan (Sul-Sel) yang berlabuh pantai dan melihat ada sungai besar sehingga menyempatkan diri untuk mengambil air minum dan mandi di sungai, setelah mandi Saudagar ini kembali ke Perahunya dan baru teringat bahwa Songkoknya tertinggal diatas Sayur Pakis dan menyuruh ABKnya untuk mengambil sambil berkata Songkoku wallupai riase’na kaju pakue (Songkok (Penutup kepala) saya lupa di atas daun sayur pakis) semenjak itulah nama pakue berkembang sampai ada manusia yang bermukim. Sedangkan penamaan Pakue sebagai Kecamatan disebabkan karena Pakue merupakan Desa Tertua dan Terkenal dan pada Tahun 1968 Ibukota Kec. Pakue dipindahkan Ke Kel. Olo-Oloho. Bahasa Daerah yakni bahasa Bugis

 

11. KECAMATAN PAKUE TENGAH
Karena diapit oleh dua Kec yaitu Kec. Pakue di sebeleh Selatan dan Pakue Utara di sebelah Utara. Pemberian Nama Kecamatan Pakue Tengah berdasarkan dari hasil musyawarah antara Tokoh Masyarakat dan Pemerintah setempat dan merupakan Kecamatan pemekaran dari Kecamatan Pakue yang beribukota di Latali. Bahasa Daerah yakni bahasa Bugis/ Indonesia

 

12. KECAMATAN PAKUE UTARA
Merupakan pakue bagian utara. Berawal dari keinginan masyarakat untuk mengembalikan Ibukota Kecamatan. Pakue, dan hal tersebut tidak mungkin dilakukan. Dengan berbagai kajian yang dilakukan maka diputuskan bahwa Kecamatn Pakue dapat dimekarkan menjadi 3 kecamatan salah satunya adalah Kecamatan Pakue Utara dan beribukota di Desa Pakue. Bahasa Daerah yakni bahasa Bugis/ indonesia

 

13. KECAMATAN BATUPUTIH
Memiliki arti nama “Batu Putih” Diambil dari sebuah nama Gunung yang ada di Batuputih karena batunya yang berwarna putih, di gunung tersebut juga terdapat Gua yang pernah ditempati oleh Raja Luwu untuk bersembunyi dari kejaran Penjajah Belanda, Penamaan Batuputih sebagai Nama Kecamatan karena nama Batuputih sudah sangat dikenal dibanding dengan nama daerah lain yang berada dalam wilayah Kecamatan sekaligus sebagai Ibukota Kecamatan yakni Kel. Batuputih. Bahasa Daerah yakni bahasa indonesia

 

14. KECAMATAN POREHU
Porehu Memiliki arti nama “Tombak” Nama Porehu berasal dari nama sebuah tombak pusaka suku rongkong yang ditancapkan disamping mata air yang namanya Limbong disaat masuk kehutan mencari damar. Sedangkan penamaan Porehu sebagai Kecamatan karena Posisi Porehu yang sangat strategis dan Porehu merupakan nama Desa tertua yang ada dalam wilayahnya, sekaligus sebagai Ibukota Kecamatan. Bahasa Daerah yakni bahasa Rongkong/ Luwu

 

15. KECAMATAN TOLALA
Memiliki arti nama “ Orang Lewat” Sesuai keterangan sejarah bahwa daerah ini sebelum raja-rajaa dahulu melaksanakan penyerangan maka mereka berdo’a, dan sebagai tanda bahwa do’a mereka dikabulkan adalah pohon-pohon yang ada disekitarnya berguguran yang dalam bahasa Tolaki disebut Molalo, sedangka nama Tolala diberi nama karena daerah tersebuta dalah tempat orang lewat dari dan ke Sulawesi Tenggara melalui jalur darat. Bahasa Daerah yakni bahasa Tolaki

Makna Lambang

Memahami makna lambang, warna dan sandi Kab. Kolaka Utara

Kunjungi

Tentang

Memahami detail dan pemerintahan daerah Kolaka Utara

Kunjungi

Wilayah

Memahami wilayah geografis Kabupaten Kolaka Utara

Kunjungi

Organisasi Perangkat Daerah di Kolaka Utara

Mengetahui semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang ada di Kabupaten Kolaka Utara.
Lihat Daftar Organisasi